Pages

Subscribe:
Photobucket"alt="gambar"title="klik here to get more"/>

Kamis, 20 Januari 2011

Upacara Kematian dalam tradisi Jawa

Pendahuluan               
Seberapapun kecilnya peradaban disuatu daerah, tentu saja masih memiliki kebiasaan yang selalu dilakukan. Kebiasaan itu rutin dilaksanakan dan menurun hingga generasi berikutnya. Itulah yang disebut dengan kebudayaan. Semakin luas wilayah peradaban maka rutinitas maupun kebudayaan yang dihasilkan tentu akan semakin beragam. Seperti halnya di Indonesia. Kita sadari sebagai warga negara Indonesia, kita mengenal berbagai macam dan ragam bentuk kebudayaan yang sampai saat ini masih terus berkembang dan dilestarikan. Bahkan keyakinan animisme-dinamisme peninggalan zaman prasejarah juga masih banyak ditemui dalam adat dan tradisi tertentu. Dapat kita bedakan adanya berbagai tindakan keagamaan dalam sistem sosial Agami Jawi. Sumber dari sebutan Agami Jawi adalah adanya kebudayaan animisme-dinamisme yang tetap diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa. Meskipun pada dasarnya mereka merupakan pemeluk agama lainnya, seperti Islam dan lainnya.
Berbagai hal dapat kita lihat dari kebudayaan yang diturunkan oleh penganut Agami Jawi. Salah satunya adalah rutinitas dalam melaksanakan suatu upacara. Upacara yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang dalam bahasa disebut wilujengan (Krami) atau slametan (Ngoko). Seperti halnya dalam semua religi, upacara-upacara kematian yang juga menyangkut berbagai macam slametan juga penting dalam Agami Jawi. Berhubungan dengan pemujaan roh orang yang sudah meninggal dan pemujaan terhadap roh nenek moyang, maka adat untuk mengunjungi makam keluarga dan makam nenek moyang (nyekar) dapat juga dianggap sebagai suatu tindakan yang penting dalam Agami Jawi. Hal yang tidak dapat dilepaskan dari sistem upacara Agami Jawi adalah berbagai jenis sajian (sesajen) yang terlibat di dalamnya. Berbagai upacara keagamaan yang dilakukan dengan slametan, oleh orang Jawa juga dilakukan pada upacara yang berhubungan dengan hari-hari besar Islam. Hal yang sangat penting adalah perilaku keramat, seperti puasa (siyam), tirakat, atau mengendalikan diri dan dengan sengaja melakukan atau mencari kesukaran, bertapa (tapabrata), dan bersemedi. Hal lain yang juga menonjol dalam beberapa upacara keagamaan adalah pertunjukan lakon wayang kulit yang keramat, dan permainan berbagai lagu suci pada gamelan.

Upacara Kematian
Beragamnya kebudayaan di Indonesia tidak serta merta mampu menghilangkan salah satu dari sekian banyak itu. Pembahasan ini tertuju pada salah daerah dengan suatu tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakatnya. Daerah ini bernama Sorogenen. Yaitu suatu dusun yang terdapat di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Masyarakat dusun tersebut masih menjalankan suatu kebiasaan atau tradisi pada saat terjadi kematian warganya. Terdapat beberapa bentuk budaya animisme-dinamisme yang terkandung dalam tradisi mereka. Namun semua itu mereka jalankan sebagai bentuk dari penghormatan, pelestarian dan keyakinan terhadap leluhur mereka. Sebelum membahas mengenai tradisi tersebut, perlu kita pahami terlebih dahulu mengenai “slametan”. Sebab slametan merupakan unsur yang paling dominan dalam setiap tradisi mereka, termasuk dalam tradisi kematian warga.
Slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentosa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya. Dalam hal ini masyarakat dusun Sorogenen pada umumnya memang keturunan dari penganut Agami Jawi.
Biasanya upacara slametan diadakan di rumah suatu keluarga, dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga yang pria. Dengan beberapa tamu (kebanyakan juga pria), yaitu biasanya tetangga-tetangga terdekat dan kenalan-kenalan yang tinggal tidak terlalu jauh, kerabat-kerabat yang tinggal di kota atau dusun yang sama, dan ada kalanya juga teman-teman akrab yang mungkin tinggal agak jauh. Tamu-tamu ini biasanya diundang tak lama sebelum upacara diadakan. Jumlah tamu yang diundang dan banyaknya unsur upacara slametan ditentukan oleh pentingnya peristiwa dan pada keuangan orang yang mengadakannya.
Upacara biasanya diadakan pada malam hari, dan bertempat di serambi depan. Untuk duduk dibentangkan tikar-tikar dan diatasnya, di tengah-tengah ruangan diletakkan dua atau tiga buah tampah berisi hidangan slametan, terdiri dari nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauk dan hiasannya. Kecuali itu masih tersedia beberapa ketel berisi air teh dan beberapa gelas kosong, mangkuk-mangkuk untuk mencuci tangan, serta piring-piring kosong dan daun pisang. Selanjutnya upacara dimulai dengan sambutan singkat oleh tuan rumah, yang diucapkan dalam gaya bahasa Krami. Setelah itu barulah “modin” atau kaum yang diminta hadir dipersilahkan untuk mengucapkan doa yang terdiri dari satu atau dua ayat Al Qur’an. Pada waktu modin berdoa, para tamu tetap duduk bersilang kaki, dengan kedua telapak tangan menghadap ke atas dan diletakkan di atas kedua lutut. Dengan kepala sedikit menengadah dan mata tertutup, para tamu pada waktu-waktu tertentu menyeling dengan mengucapkan “amin” Apabila doa telah selesai diucapkan, maka modin dipersilahkan oleh tuan rumah untuk mulai bersantap, disusul oleh para tamu lainnya. Selain itu biasanya mereka masing-masing masih mendapat berkat, yaitu besek berisi makanan serupa dengan yang dihidangkan untuk slametan. Slametan tidak hanya dilakukan pada tradisi kematian, namun juga pada tradisi lainnya seperti kelahiran anak, pernikahan, khitanan, dan sebagainya.
Selanjutnya pembahasan ini tertuju pada kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat saat kematian warganya. Ada beberapa bagian yang merupakan urutan atau tata cara yang selalu dijalankan. Yang pertama adalah pemberitahuan atau pemberitaan lelayu, kedua perawatan jenazah, ketiga persiapan pemberangkatan jenazah, keempat upacara pemberangkatan jenazah, kelima pemakaman jenazah, dan terakhir adalah slametan.
1.      Pemberitahuan atau Pemberitaan Lelayu
Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat Jawa ketika ada orang meninggal adalah memberi penghiburan kepada keluarga bahwa semua ciptaan akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila keadaan keluarga sudah reda, perhatian segera dialihkan ke jenazah. Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur, menelentang, dan menghadap ke atas. Selanjutnya mayat ditutup dengan kain batik yang masih baru. Kaki dipan tempat mayat itu ditidurkan perlu direndam dengan air, maksudnya agar dipan itu tidak dikerumuni semut atau binatang kecil lainnya. Tikar sebagai alas tempat jenazah dibaringkan perlu diberi garis tebal dari kunyit dengan maksud agar binatang kecil tidak mengerumuni mayat. Terakhir adalah membakar dupa wangi atau ratus untuk menghilangkan bau yang kurang sedap.
Bersamaan dengan hal diatas, beberapa orang terdekat bertugas memanggil seorang modin dan mengumumkan kematian itu kepada para sanak saudara dan tetangga. Pemberitaan juga dilakukan dengan bantuan pengeras suara dari masjid terdekat. Setelah kabar tersiar mereka yang mendengar akan berusaha segera datang ketempat itu untuk membantu menyiapkan pemakaman.
2.      Perawatan Jenazah
Tetangga terdekat yang telah mendatangi rumah jenazah segera menghibur dan menenangkan hati keluarga yang ditinggal pergi. Sebagian lainnya membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin banyak orang yang datang. Beberapa orang juga segera mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perawatan jenazah. Yang pertama adalah menyiapkan ember sebagai tempat air untuk memandikan jenazah. Ember berjumlah tujuh buah dan masing-masing diisi daun dadap (atau daun sirih) dan uang koin dengan diisi air yang tidak terlalu penuh. Fungsi dari daun tersebut adalah sebagai pengharum. Gayung yang digunakan juga harus berjumlah tujuh, sesuai dengan jumlah ember. Kemudian dipersiapkan juga bangku untuk tempat duduk orang yang bertugas memandikan mayat yang diatur sedemikian rupa supaya memperlancar pekerjaan. Lalu meja kecil untuk meletakkan mangkok berisi bakaran merang atau tangkai padi, sabun mandi yang terpotong-potong secukupnya kemudian dibungkus mori (kain putih) berjumlah lima bungkus, diletakkan di piring kecil (lepek). Tangkai padi kering yang dipotong-potong digunakan untuk membersihkan kuku. Sedangkan sobekan mori untuk membersihkan gigi. Selain itu dibutuhkan juga beberapa potong kain penutup yang sama panjangnya (biasanya menggunakan kain batik), agar jenazah tidak dilihat oleh orang yang tidak berkepentingan selama pemandian berlangsung.
Dalam hal ini tugas yang umumnya dilakukan para pria adalah memasang tenda diatas tempat jenazah yang akan disucikan (dimandikan) agar tidak terlihat dari atas. Dan juga mencari tujuh buah batang pisang yang  masing-masing panjangnya kira-kira satu meter, dan disusun rapat berdempetan. Setelah itu memanggil ahli waris yang terdekat sejumlah tiga orang untuk menggotong jenazah dari dalam rumah menuju ke tempat penyucian atau pemandian mayat. Urut-urutan dimulai dari yang tertua di depan dan yang termuda di belakang, begitu pula pada waktu selesai dimandikan digotong dari tempat memandikan ke dalam rumah. Posisi menggotong jenazah adalah: tangan kiri menyanggah sedangkan tangan kanan merangkul dengan penuh hati-hati jangan sampai penutup kain jenazah berubah atau bergeser. Setelah sampai di tempat memandikan, jenazah dibaringkan diatas tujuh buah batang pisang yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah teratur rapi kemudian mulai dimandikan yaitu lima orang mengguyur air dan tiga orang membersihkan dengan sabun. Cara mengguyur air perlahan-lahan dan terus-menerus jangan sampai terputus. dengan disaksikan oleh para anggota keluarga orang yang meninggal. Setelah selesai dimandikan jenazah diserahkan kepada modin untuk disembahyangkan dan didandani.
Perlu diketahui bahwa petugas (modin) yang melakukan perawatan jenazah ini harus berjenis kelamin sama dengan jenazah. Kemudian yang dilakukan modin selanjutnya adalah menutup alat kelamin jenazah dengan sepotong daun pisang dan segala lubang pada tubuh diisi dengan kapas. Setelah wajahnya dirias sedikit, jenazah dibungkus dalam kain putih (mori) yang kemudian diikat di kaki, pinggang, leher, dan di atas kepalanya. Kegiatan ini merupakan tradisi khusus untuk orang yang beragama Islam, yaitu dipocong. Apabila jenazah bukan beragama Islam, umumnya hanya ditangani oleh keluarga dan kerabat jenazah. Jenazah yang sudah dibungkus rapi kemudian diletakkan diruangan tengah dari rumah, diatas usungan yang terbuat dari bambu bernama “bandhusa”. Dengan kepala menghadap kearah utara.
3.      Persiapan Pemberangkatan Jenazah
Bagian ketiga ini merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Beberapa hal kecil namun sangat besar artinya karena apabila tidak dilakukan akan mengurangi sahnya sebuah makna kematian. Seperti yang dilakukan kaum wanita yang datang melayat ketempat itu, mereka membantu mengerjakan hal-hal kecil seperti menjahit bahan yang akan dipakai untuk menutup keranda, merangkai bunga-bunga yang akan dipakai untuk menghias keranda, dan sebagainya. Sedangkan para kerabat pria mengurus surat-surat yang diperlukan untuk pemakaman jenazah, membeli tanah makam, dan membuat papan kayu (pathok), dimana dituliskan nama orang yang meninggal, tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Hal-hal tersebut mereka kerjakan tanpa ada perintah dan paksaan. Semua berjalan diiringi rasa solidaritas dan kemanusiaan yang tinggi.
4.      Upacara Pemberangkatan Jenazah
Selanjutnya sekitar jam dua siang hari segala persiapan biasanya sudah selesai, maka jenazah pun diberangkatkan ke pemakaman yang diiringi oleh para handai taulan serta tetangga yang telah hadir sejak awal maupun yang baru saja tiba setelah kantor selesai. Dalam hal ini orang Jawa tidak diperbolehkan menangisi kematian seorang anggota keluarga secara berlebihan. Sebaliknya harus bersikap ikhlas melepas kepergiannya dan menerima nasibnya dengan tawakal. Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam dilakukan suatu upacara yang disebut dengan “upacara brobosan”. Upacara brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua atau keluarga mereka (jenazah) yang telah meninggal dunia. Upacara brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua.  Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan. Upacara brobosan tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:
1)   Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai.
2)   Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam.
3)   Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.
Setelah itu jenazah diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada. Adapun urutan untuk melakukan perjalanan ke pemakaman juga diatur. Yang berada diurutan paling depan adalah penabur sawur (terdiri dari beras kuning dan mata uang), kemudian penabur bunga dan pembawa bunga, pembawa kendi, pembawa foto jenazah, keranda jenazah, barulah dibagian paling belakang adalah keluarga maupun kerabat yang turut menghantarkan. Namun dalam keyakinan orang Jawa, seorang wanita tidak diperkenankan untuk memasuki area pemakaman. Jadi mereka hanya boleh menghantarkan sampai didepan pintu pemakaman saja. Dan mereka yang masuk hanyalah kaum pria tanpa memakai alas kaki.
5.      Pemakaman Jenazah
                        Setiba di pemakaman, jenazah dikeluarkan dari keranda dan diturunkan kedalam liang kubur dengan bantuan para pekerja pemakaman. Luas sebuah liang untuk orang dewasa adalah kira-kira 1 x 2½ meter, dengan kedalaman kira-kira 2½ meter, dan digali memanjang dari arah utara ke selatan. Sepanjang salah satu sisinya, kurang lebih 2 meter dibawah permukaan tanah, dibuat sebuah lubang yang cukup untuk meletakkan jenazah dalam posisi miring, dengan kepalanya disebelah utara, dan menghadap ke arah barat, ke Mekah (majeng kiblat). Untuk menjaga agar jenazah tidak bergeser tempat, maka dikedua sisinya diletakkan batu-batu dan gumpalan-gumpalan tanah. Apabila jenazah sudah selesai dibaringkan, maka modin turun ke dalam liang dan membuka tali-tali pengikat kepala untuk menampakkan pipi dan telinga jenazah, dan meneriakkan kalimat azan serta kalimat syahadat berkali-kali ke dalam telinganya. Setelah itu modin tadi naik keatas lagi dan lubang ditutup dengan papan-papan, yang disusul dengan penutupan seluruh lubang kuburan dengan tanah. Pada saat itu secara simbolik, para sanak saudara memasukkan beberapa gumpal tanah pula. Apabila lubang sudah tertutup, dan tanah di atasnya telah membentuk suatu bukit kecil, maka papan-papan nisan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, ditanam pada kedua ujungnya, yaitu ujung kepala dan ujung kaki. Selanjutnya di atas bukit kecil itu ditaburkan bunga-bunga (yang dibawa tadi), dan pada akhir upacara pemakaman masih diucapkan beberapa pidato oleh seorang wakil keluarga orang yang meninggal, untuk menyatakan terimakasih atas segala ucapan belasungkawa dan bantuan yang telah diberikan dalam hal menyelenggarakan pemakaman itu. Setelah itu semua orang pulang ke rumah masing-masing.
6.      Slametan
                        Pada malam harinya para keluarga mengadakan slametan untuk memperingati arwah orang yang meninggal (biasanya tidak disebut slametan melainkan sedhekah) dengan mengundang semua orang yang telah memberikan bantuan serta sumbangan berupa apa pun juga.  Setiap slametan yang diadakan selalu dilakukan dhikir bersama, sehingga slametan seperti itu dapat berlangsung sampai dua jam. Hingga empat puluh hari lamanya, dibawah tempat tidur orang yang meninggal diletakkan sajian yang diganti dua hari sekali. Adapun tata cara dalam slametan ini telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya yang pada intinya adalah memohonkan doa bagi arwah yang telah meninggal dan melakukan sedikit jamuan sederhana bagi yang hadir pada acara tersebut (berkat).
                        Sedhekah atau slametan yang diadakan berhubungan dengan kematian juga diselenggarakan pada hari ketiga (nigang ndinteni), hari keempat puluh (ngawandasa dinten), hari keseratus (nyatus), peringatan setahun meninggalnya (mendhak sepisan), peringatan dua tahun (mendhak kaping kalih), dan yang terakhir serta paling sering diperingati dan diselenggarakan adalah pada hari keseribu (nyewu). Bila yang meninggal anak kecil, maka sedhekah hanya diadakan satu kali saja yaitu “sedhekah ngesah”. Setelah peringatan hari keseribu, maka sedhekah yang diadakan oleh para kerabat orang yang meninggal merupakan kewajiban yang terakhir yang harus dipenuhi. Sementara itu sisa-sisa terakhir dari ikatan-ikatan emosional dan spiritual yang mungkin masih ada, juga dianggap telah habis. Walaupun demikian banyak keluarga Jawa penganut Agami Jawi masih tetap mengunjungi makam nenek moyang mereka pada kesempatan-kesempatan tertentu, yang disebut nyekar.

Makna dan Fungsi Dibalik Upacara
                        Tradisi dalam upacara kematian ini merupakan peninggalan kebudayaan dari leluhur masyarakat setempat yang masih dibudayakan. Namun demikian seiring dengan perkembangan zaman, ada beberapa hal yang sedikit demi sedikit dihilangkan. Bukan pada bagian dan tata cara melainkan tertuju pada perlengkapan yang digunakan dalam prosesnya. Seperti sesaji yang hampir tidak ditemukan lagi pada masyarakat Dusun Sorogenen. Keyakinan dan kepercayaan masing-masing yang menjadi kunci utama dalam setiap upacara berlangsung. Dan khusus pada masyarakat dusun ini mempunyai kesepakatan dalam melakukan tradisi tersebut. Perlu kita ketahui bahwa upacara ini tidak hanya dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat Sorogenen, sebab upacara ini  merupakan tradisi yang berlaku juga bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Meskipun ada beberapa hal yang membedakan antara daerah satu dengan lainnya. Dan yang dijelaskan dalam tulisan ini adalah upacara yang dimiliki oleh masyarakat Sorogenen dengan budayanya tersendiri.
Pada umumnya upacara ini dilakukan pada jenazah yang beragama Islam. Karena budaya ini memang diturunkan oleh leluhur mereka yang berkeyakinan pada aqidah Islam. Sedangkan untuk jenazah warga yang bukan beragama Islam, biasanya ditangani oleh keluarga dan kerabat jenazah sendiri. Namun seluruh masyarakat dusun tersebut tetap datang meskipun hanya sebatas melayat dan memberi doa pada jenazah. Hal ini tetap berlangsung hingga saat ini dan tidak pernah sekalipun menjadi suatu permasalahan.
Upacara yang diselenggarakan pada saat kematian ini merupakan suatu bentuk penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Bahwa orang yang ditinggalkan masih senantiasa mengingat segala kebaikan yang pernah diberikan oleh orang yang sudah meninggal sehingga perlu untuk menyelenggarakan suatu upacara. Masyarakat ini juga mempercayai bahwa dengan dibantu doa maka orang yang meninggal tersebut akan cepat diterima Tuhan sehingga arwahnya akan tenang. Pemberian doa mereka lakukan pada hari pertama hingga hari keseribu sejak pemakaman. Namun setelah hari keseribu bukan berarti hubungan batin dan pemberian doa terhenti, sebab mereka tetap mengunjungi makam pada perayaan tertentu yang disebut dengan nyekar. Kegiatan nyekar ini juga mereka lakukan dengan membersihkan makam dan menaburkan bunga disekitar makam tersebut, sehingga secara simbolik menegaskan bahwa tidak ada hubungan yang terputus antara orang yang meninggal dengan yang masih hidup (dalam hal ini keluarga dan kerabat).
Selain itu bagaimana peran serta masyarakat dusun dalam pelaksanaan upacara juga menjadi hal yang patut diperhatikan. Secara tidak langsung berfungsi sebagai pemersatu dan juga untuk menjalin rasa solidaritas serta kekeluargaan sesama warga setempat. Kalau bukan karena rasa solidaritas dan kekeluargaan yang tinggi, maka mereka tentu tidak akan berusaha untuk segera datang saat mendengar berita meninggalnya salah satu warga mereka. Keinginan mereka untuk membantu tercermin dari tanpa adanya perintah dari seseorang karena mereka seperti telah memiliki tugas masing-masing dan mengerti bagaimana mereka harus segera bertindak. Selain itu mereka juga tidak menuntut imbalan sedikitpun dari keluarga yang berduka. Ikhlas adalah kata kunci dari setiap hal yang mereka lakukan. Dan tentunya mereka juga berharap diperlakukan hal yang sama apabila saatnya nanti mereka juga mendapat kedukaan serupa. Begitulah budaya yang mereka yakini dan tetap dijalankan hingga saat ini.

Kesimpulan
                        Upacara kematian yang terdapat di Dusun Sorogenen adalah salah satu bentuk tradisi yang selalu dilakukan saat terjadi kematian pada salah satu warga di dusun tersebut. Upacara ini mereka lakukan untuk menghormati orang yang sudah meninggal. Agar senantiasa mengingat segala kebaikan yang pernah diberikan oleh orang tersebut selama hidupnya dan membantu dengan doa agar orang yang meninggal tersebut dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga arwahnya dapat tenang dan damai.

0 komentar:

Posting Komentar

Labels

Pages - Menu

Pengikut

Labels

Categories

Cari Blog Ini